|  | 
| Desain Kaos Anak Papua | 
Kontur alam Papua yang sulit membuat 
anak-anak dari suku terpencil di pegunungan dan pesisir selatan Pulau 
Papua sulit untuk mendapatkan akses pendidikan yang memadai, asrama ini 
kemudian hadir untuk mewadahi hal tersebut.
Sedari kecil, para anak-anak Papua yang 
berasal dari suku-suku pegunungan dan pesisir dititipkan di asrama ini. 
Mereka kemudian dibekali dengan pendidikan sekolah dasar hingga ke 
jenjang yang lebih tinggi. Di asrama Penjunan-lah suku-suku terpencil di
 pegunungan dan pesisir bertemu,  tinggal dan belajar bersama secara 
cuma-cuma.
Tak jarang beberapa dari mereka, walau 
usianya telah melampaui usia sekolah dasar sama sekali tak mampu 
membaca, menulis dan berhitung. Bagi mereka, para pembina di sekolah ini
 dengan sabar akan membimbing mereka dalam sebuah program matrikulasi 
untuk mengejar ketertinggalan sebelum mereka melanjutkan ke jenjang 
pendidikan formal.
Hingga saat ini asrama Penjunan menampung
 120 anak dengan usia termuda lima tahun. Walau asrama ini hanya 
memiliki sekolah dasar, bagi anak-anak yang melanjutkan ke jenjang yang 
lebih tinggi asrama Penjunan memperbolehkan mereka tetap tinggal bahkan 
memfasilitasi mereka untuk tetap bersekolah setinggi apapun yang mereka 
inginkan!
Layaknya keramik yang dibentuk menjadi 
sesuatu yang indah dan bermanfaat, begitupun filosofi asrama ini. 
Cita-cita para pengajar dan pembina di tempat ini, agar kelak anak-anak 
pedalaman Papua dapat dibina menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat 
bagi masyarakat mereka jadikan sebagai kompas pengarah.
Saya memasuki ruang-ruang di asrama 
Penjunan ditemani oleh seorang kakak pembina. Mata saya menyapu ke 
sudut-sudut ruang kecil yang tertata rapi. Di kiri kanan ruangan tampak 
tempat tidur bersusun dua dan rak-rak sepatu mungil di bawahnya. Sekat 
kayu berpaku tertempel di dinding, di sana tergantung celana merah khas 
sekolah dasar dengan nama-nama pemiliknya di tulis sejajar. Sesekali 
saya melihat tumpukan baju usang yang tersusun rapi di laci-laci kecil 
yang berfungsi sebagai lemari.
“Anak-anak belajar merapikan 
barang-barang mereka sendiri dan mengikuti jadwal harian yang telah 
ditetapkan. Mereka anak-anak yang baik, walau butuh kesabaran dalam 
mengajar mereka,” kakak pembina yang menemani saya dengan semangat 
memberi penjelasan.
Saya mendengar penjelasannya dengan 
seksama. “Dari logat kakak, sepertinya bukan orang asli Papua. Apa yang 
membuat kakak tertarik menjadi pembina di sini?” saya tergelitik saat 
mendengar logat Batak yang khas dari suaranya.
“Saya dari Sumatera, dan bekerja di sini 
adalah panggilan bagi kami. Di asrama ini, tidak ada ikatan masa tugas 
semua tergantung keikhlasan. Beberapa dari kami bahkan telah mengabdi 
selama bertahun-tahun,”. Saya terkejut mendengar jawabannya. Seketika 
terbersit rasa bangga dan syukur menyadari masih banyak putra-putri 
terbaik negeri ini yang rela mengabdikan dirinya jauh ke ujung timur 
Indonesia.



 




0 komentar:
Posting Komentar