CgAi70iWShD0m9VqH1PKnZAfEsE

Sabtu, 29 Juni 2013

Kaos Anak Suku Papua

Desain Kaos Anak Papua
Kontur alam Papua yang sulit membuat anak-anak dari suku terpencil di pegunungan dan pesisir selatan Pulau Papua sulit untuk mendapatkan akses pendidikan yang memadai, asrama ini kemudian hadir untuk mewadahi hal tersebut.
Sedari kecil, para anak-anak Papua yang berasal dari suku-suku pegunungan dan pesisir dititipkan di asrama ini. Mereka kemudian dibekali dengan pendidikan sekolah dasar hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Di asrama Penjunan-lah suku-suku terpencil di pegunungan dan pesisir bertemu,  tinggal dan belajar bersama secara cuma-cuma.
Tak jarang beberapa dari mereka, walau usianya telah melampaui usia sekolah dasar sama sekali tak mampu membaca, menulis dan berhitung. Bagi mereka, para pembina di sekolah ini dengan sabar akan membimbing mereka dalam sebuah program matrikulasi untuk mengejar ketertinggalan sebelum mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan formal.
Hingga saat ini asrama Penjunan menampung 120 anak dengan usia termuda lima tahun. Walau asrama ini hanya memiliki sekolah dasar, bagi anak-anak yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi asrama Penjunan memperbolehkan mereka tetap tinggal bahkan memfasilitasi mereka untuk tetap bersekolah setinggi apapun yang mereka inginkan!
Layaknya keramik yang dibentuk menjadi sesuatu yang indah dan bermanfaat, begitupun filosofi asrama ini. Cita-cita para pengajar dan pembina di tempat ini, agar kelak anak-anak pedalaman Papua dapat dibina menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat mereka jadikan sebagai kompas pengarah.
Saya memasuki ruang-ruang di asrama Penjunan ditemani oleh seorang kakak pembina. Mata saya menyapu ke sudut-sudut ruang kecil yang tertata rapi. Di kiri kanan ruangan tampak tempat tidur bersusun dua dan rak-rak sepatu mungil di bawahnya. Sekat kayu berpaku tertempel di dinding, di sana tergantung celana merah khas sekolah dasar dengan nama-nama pemiliknya di tulis sejajar. Sesekali saya melihat tumpukan baju usang yang tersusun rapi di laci-laci kecil yang berfungsi sebagai lemari.
“Anak-anak belajar merapikan barang-barang mereka sendiri dan mengikuti jadwal harian yang telah ditetapkan. Mereka anak-anak yang baik, walau butuh kesabaran dalam mengajar mereka,” kakak pembina yang menemani saya dengan semangat memberi penjelasan.
Saya mendengar penjelasannya dengan seksama. “Dari logat kakak, sepertinya bukan orang asli Papua. Apa yang membuat kakak tertarik menjadi pembina di sini?” saya tergelitik saat mendengar logat Batak yang khas dari suaranya.
“Saya dari Sumatera, dan bekerja di sini adalah panggilan bagi kami. Di asrama ini, tidak ada ikatan masa tugas semua tergantung keikhlasan. Beberapa dari kami bahkan telah mengabdi selama bertahun-tahun,”. Saya terkejut mendengar jawabannya. Seketika terbersit rasa bangga dan syukur menyadari masih banyak putra-putri terbaik negeri ini yang rela mengabdikan dirinya jauh ke ujung timur Indonesia.

0 komentar: